welcome to my mini blog . . . . .
matoduwoloooo

Minggu, 22 April 2012

makalah Manajemen Agroindustri


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas berkat rahmat dan petunjuk-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini . Dengan tersusunnya makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami kegiatan pertanian dalam bidang ini.
makalah ini disusun secara sistematis dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami sehingga lebih muda dan cepat dipahami, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu  dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca dan dosen pembimbing Mata Kuliah demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian makalah ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Gorontalo,       februari 2012

Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................
1.1  Latar belakang.......................................................................
1.2  Rumusan masalah..................................................................
1.3  Tujuan....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN......................................................................
2.1  Perkembangan Agroindustri di Era Globalisasi................
2.2  Kendala yang dihadapi dalam Perkembangan
Agroindustri di Era Globalisasi...........................................
2.3  Komoditi Penunjang Perkembangan Agroindustri di Era globalisasi           
BAB III PENUTUP..............................................................................
3.1  Kesimpulan............................................................................
3.2  Saran......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA                     





BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Proses  transformasi  dari  agraris  ke  industri  suatu  negara  tampaknya  harus  melalui  masa  peralihan   yang  gradual.  Peralihan  yang  bersifat  terobosan  (loncatan)  tanpa  melalui  urutan   yang  benar  seperti  dialami  pada  masa   orde  baru,  hasilnya  kurang dapat menjamin  keberhasilan. Urutan  transformasi  yang benar sebelum  memasuki  industrialisasi  telah  terbukti  keberhasilannya,  seperti  yang  telah  dilakukan  oleh  negara-negara  yang  kini  adalah  negara kaya, yaitu negara Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara  Eropa.
Urutan  transformasi  yang  benar  adalah  dari  mayoritas  penduduk  yang  mula-mula berkecimpung dalam kegiatan pertanian menghasilkan barang primer,  selanjutnya berkembang  ke kegiatan agroindustri untuk mengolah hasil pertanian  yang  dapat  memperpanjang  daya  simpan  komoditas  terutama  untuk  keperluan ekspor. Hasil yang dicapai  dari kegiatan agroindustri berupa tabungan masyarakat serta devisa yang cukup besar yang dapat membiayai  langkah selanjutnya yakni menuju masyarakat  industri. Urutan  itu diikuti secara   konsisten  juga oleh negara Malaysia, Thailand,  dan  yang paling  kelihatan perkembangannya   adalah China.
China  dengan  tahapan  rencana  pembangunan  lima  tahunannya   telah memprogram  urutan  itu  tanpa  terpengaruh  oleh  imingan  apapun  dari  luar. Malaysia yang mula-mula mengandalkan perkebunan karetnya, sebagai penghasil devisa  telah  mengembangkan  agroindustri  dari  komoditas  karet  sehingga  ia mampu  mengekspor  karetnya   dalam  bentuk  barang  jadi  karet,  kemudian   ia mendiversifikasi  karetnya   dengan  kelapa  sawit  yang  mempunyai  potensi  lebih besar untuk  dikembangkan  dalam kegiatan agro industri. Thailand   telah berhasil mengembangkan  berbagai  komoditas  pertanian  sekaligus  pengembangan agroindustrinya melalui  jasa penelitian yang tangguh.
Pengembangan  agroindustri   memang  diperlukan  suatu  kesabaran  yang tinggi. Apalagi  bahwa   dunia pertanian  dicirikan oleh   kondisi petani  yang  selalu berada  pada  tingkatan  yang  rendah  baik  dari  pendidikannya,   ketrampilannya,  luas areal  yang dimiliki dan posisinya dalam pemasaran hasil.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara detail mengenai perkembangan agroindustri di era global.
1.2    Rumusan Masalah
Ø  Menjelaskan perkembangan agroindustri di era globalisasi
Ø  Menjelaskan kendala yang dihadapi dalam perkembangan agroindustri di era global
Ø  Menjelaskan komoditi yang menjadi faktor pendukung dalam kemajuan agroindustri
1.3    Tujuan
Ø  Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam  perkembangan agroindustri di era globalisasi
Ø  Untuk mengetahui komoditi apa saja yang menjadi pendukung dalam kemajuan agroindustri










BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Perkembangan Agroindustri Di Era Globalisasi
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, karena didukung oleh ketersediaan potensi sumberdaya alam yang sangat baik dan beragam. Namun demikian, ketersediaan berbagai sumber-daya hayati yang banyak tidak menjamin kondisi ekonomi masyarakat akan lebih baik, kecuali bilamana keunggulan tersebut dapat dikelola secara profesional, berkelanjutan dan amanah, sehingga keunggulan komparatif (comparative advantage) akan dapat diubah menjadi keunggulan kompetitif (competitive adventage) yang menghasilkan nilai tambah (value added) yang lebih besar.
Sektor agroindustri adalah sektor yang mampu memberi nilai tambah bagi produk hasil pertanian. Hal ini dikarenakan agroindustri memiliki keterkaitan langsung dengan pertanian primer, di mana industri inilah yang mengolah produk primer pertanian menjadi barang setengah jadi (intermediate goods) maupun barang konsumsi (final goods). Karena sektor pertanian primer sangat dipengaruhi oleh industri, sistem perdagangan dan distribusi input produksi, maka kinerja pertanian dan industri ini akan sangat mempengaruhi pola pengembangan agroindustri selanjutnya. Kegiatan agroindustri juga juga dipengaruhi oleh lembaga dan infrastruktur pendukung, baik lembaga perbankan, penyuluhan, penelitian dan pengembangan, lingkungan bisnis, dana kebijakan pemerintah. Oleh karenanya, untuk menggerakkan dan mengembangkan agroindustri, harus mengacu pada keseluruhan sistem yang ada.
Era globalisasi yang melanda dunia secara nyata  menyebabkan bermunculan berbagai norma dan aturan baru yang satu sama lain saling tergantung dan kadang-kadang tidak terpisahkan. Saling ketergantungan antar negara dicirikan dengan semakin terbukanya pasar dalam negeri terhadap produk-produk negara lain. Perubahan kondisi perdagangan dunia menyebabkan semakin ketatnya persaingan antar unit-unit bisnis di masing-masing negara untuk merebut pangsa pasar global yang semakin terbuka.
Konsekuensi dari perubahan-perubahan kondisi perdagangan tersebut menuntut dunia agroindustri Indonesia untuk tidak hanya memiliki keunggulan komparatif, melainkan juga keunggulan kompetitif yang tinggi, yang tercermin dengan mutu produk yang tinggi dan harga yang dapat bersaing, walaupun mutu produk tinggi tidak harus disertai dengan teknologi yang canggih, melainkan dengan disiplin sumberdaya manusia industrial yang tinggi. Elemen mutu dan harga merupakan dua hal yang saling berkaitan. Mutu produk yang tinggi akan  mengakibatkan harga produk menjadi tinggi dan lebih mampu bersaing di pasar global.
Pengembangan Agroidustri di Indonesia terbukti mampu membentuk pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, agroindustri ternyata menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami kemunduran atau pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam jumlah unit usaha yang beroperasi. Kelompok agroindustri yang tetap mengalami pertumbuhan antara lain yang berbasis kelapa sawit, pengolahan ubi kayu dan industri pengolahan ikan. Kelompok agroindustri ini dapat berkembang dalam keadaan krisis karena tidak bergantung pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar ekspor yang besar. Sementara kelompok agroindustri yang tetap dapat bertahan pada masa krisis adalah industri mie, pengolahan susu dan industri tembakau yang disebabkan oleh peningkatan permintaan di dalam negeri dan sifat industri yang padat karya. Kelompok agroindustri yang mengalami penurunan adalah industri pakan ternak dan minuman ringan. Penurunan industri pakan ternak disebabkan ketergantungan impor bahan baku (bungkil kedelai, tepung ikan dan obat-obatan). Sementara penurunan pada industri makanan ringan lebih disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi. Berdasarkan data perkembangan ekspor tiga tahun setelah krisis moneter 1998-2000, terdapat beberapa kecenderungan komoditas mengalami pertumbuhan yang positif antara lain, minyak sawit dan turunannya, karet alam, hasil laut, bahan penyegar seperti kakao, kopi dan teh, hortikultuta serta makanan ringan/kering. Berdasarkan potensi yang dimiliki, beberapa komoditas dan produk agroindustri yang dapat dikembangkan pada masa mendatang antara lain, produk berbasis pati, hasil hutan non kayu, kelapa dan turunannya, minyak atsiri dan flavor alami, bahan polimer non karet serta hasil laut non ikan. Dengan demikian, agroindustri merupakan langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian melalui pemanfaatan dan penerapan teknologi, memperluas lapangan pekerjaan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.2  Kendala Yang Di Hadapi Dalam Perkembangan Agroindustri Di Era Globalisasi
Secara garis besar, pengembangan agroindustri atau industri pertanian di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang berkaitan dengan susbsistem agribisnis hulu maupun dalam hal sistem perdagangan bebas produk pertanian olahan. Tantangan di bidang agribisnis hulu meliputi belum terjaminnya kesinambungan pasokan bahan baku berskala industri, rendahnya kualitas pasokan bahan baku, dan belum baiknya zonasi pengembangan wilayah produk primer dengan agroindustri. Sedang tantangan perokonomian global, agroindustri dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis nasional dan internasional. Perubahan lingkungan strategis internasional ditunjukkan oleh adanya penurunan dan bahkan penghapusan subsidi dan proteksi usaha pertanian, perubahan pola permintaan produk pertanian, globalisasi dan liberalisasi perdagangan serta investasi, kompetisi pasar yang semakin ketat, dan adanya krisis ekonomi global. Sedangkan perubahan pada lingkungan strategis domestik ditandai oleh adanya dinamika struktur demografi, perubahan kondisi dan kebijakan makroekonomi, serta adanya dinamika ekspor non migas. Untuk tantangan yang bersifat internal, masih didominasi oleh fakta bahwa usaha pertanian masih diusahakan dalam skala kecil, ekstensif, terpencar-pencar, dan berorientasi subsistem. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap upaya penggerakan dan pengembangan agroindustri.

Berintegrasi dengan pasar global
Kondisi tersebut tentu sangat berpengaruh pada upaya peningkatan permintaan produk pertanian, baik kuantitas, kualitas maupun keragamannya. Kata kuncinya adalah efisiensi dan daya saing. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan agroindustri didasarkan pada keunggulan komparasi wilayah, sehingga tercermin adanya pengembangan industri pertanian wilayah, bahkan pedesaan yang berbasis pada komoditas unggulan. Hal ini dapat dilihat dari upaya pengembangan konsep ’one village one comodity.’ Itulah sebabnya, dalam perencanaan pengembangan agroindustri, harus berbasis pada keterpaduan komoditi, keterpaduan usaha tani, dan keterpaduan wilayah yang dijalankan, yang diaplikasikan dengan berorientasi pada efisiensi ekonomi dan pemanfaatan pasar ekspor. Sebagai sektor yang mempunyai kekuatan untuk menjadi penggerak ekonomi nasional, agroindustri telah memperlihatkan peran yang sangat besar.  Salah satu kendala dalam pengembangan agroindustri di Indonesia adalah kemampuan mengolah produk yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar komoditas pertanian yang diekspor merupakan bahan mentah dengan indeks retensi pengolahan sebesar 71-75%. Angka tersebut menunjukkan bahwa hanya 25-29% produk pertanian Indonesia yang diekspor dalam bentuk olahan. Kondisi ini tentu saja memperkecil nilai tambah yang yang diperoleh dari ekspor produk pertanian, sehingga pengolahan lebih lanjut menjadi tuntutan bagi perkembangan agroindustri di era global ini. Adapun kendala yang dihadapi antara lain :

a.       Belum terfokusnya arah dan orientasi perkembangan agroindustri sehingga
sulit untuk menetapkan skala prioritasnya.
b.      Belum efektifnya peran lembaga yang berperan dalam pengadaan stok produk agroindustri melemahkan sistem cadangan produk pertanian yang secara tradisional telah dikembangkan masyarakat selama ini.
c.       Sentra-sentra produksi belum dapat diandalkan untuk bekerja secara efektif dan efisien sehingga mampu menyediakan bahan baku dan menghasilkan produk secara berkesinambungan dalam jumlah dan kualitas yang memadahi.
d.      Penguasaan, pemilikan dan akses terhadap sarana teknologi dan alatalat pengolahan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas barang masih kurang. Faktor inilah yang menyebabkan mutu produk olahan belum dapat memenuhi standar kualitas yang diharapkan lebih-lebih penyesuaian dengan standarisasi produk yang diperlukan untuk mengisi pasar internasional.
e.       Pemasaran dan distribusi belum berkembang terutama karena keterbatasan infrastruktur berupa sarana transportasi, komunikasi dan informasi.
f.       Sumberdaya manusia yang memilki ketrampilan, pengetahuan dan sikap yang profesional masih terbatas baik dalam jumlah, kualifikasi, maupun sebarannya.
Belum adanya kebijakan yang mengontrol dan mengendalikan ekspor bahan mentah untuk melindungi dan merangsang berkembangnya agroindustri di dalam negeri.
2.3  Komoditi Penunjang Perkembangan Agroindustri Di Era Globalisasi
v  Kelapa Sawit Sebagai Komoditas Strategis Nasional
Komoditas kelapa sawit tidak terbantahkan merupakan primadona perdagangan ekspor Indonesia. Ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 jumlah ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya mencapai 10,5 juta ton. Tahun 2006 jumlah ekspor minyak sawit dan produk turunannya meningkat menjadi 12.1 juta ton dengan nilai sekitar USD 5,4 miliar (IOPRI, 2007). Kelapa sawit juga menjadi sumber penerimaan pajak yang besar. Pajak bumi dan bangunan yang dapat diperoleh adalah sekitar Rp 26.263 miliar dengan asumsi luas areal perkebunan kelapa sawit sekitar 5.247.171 hektar dan dengan tarif pajak Rp 5.000 perhektar pertahun (Darmosarkoro, 2006).
Sejak bulan Oktober 2007, Indonesia telah berhasil menjadi produsen CPO terbesar di dunia, bahkan pada bulan Mei 2009, Indonesia telah mampu memproduksi 19 juta ton CPO dari luasan areal 7,52 juta ha. Pada tahun 2007, ekspor CPO dan berbagai produk turunannya mencapai 11,9 juta ton, setara dengan penerimaan USD 7,9 milyar, dan memberikan pekerjaan kepada lebih dari 3,3 juta pekerja, baik di lahan maupun di pabrik dan berbagai sektor jasa yang terkait. Bahkan Menteri Perindustrian Republik Indonesia mengharapkan bahwa Indonesia akan mampu menghasilkan 50 juta ton CPO pada tahun 2020 (Gumbira-Sa’id, 2009).
Perdagangan minyak sawit dunia semakin baik dengan adanya peningkatan konsumsi minyak sawit dunia. Minyak sawit telah menjadi minyak makan terbesar yang dikonsumsi dunia mengganti-kan minyak kedelai. Pangsa pasar dunia minyak sawit adalah 24,4% dan pangsa pasar minyak kedelai adalah 23,9% dari total konsumsi minyak dan lemak dunia sebanyak 143 juta ton. Peningkatan perminta-an minyak sawit dipicu pula oleh peningkatan kesadaran dan kebutuhan penggunaan energi alternatif yang terbarukan dan relatif kurang polutif. Misalnya target negara-negara Eropa (UE) menggunakan biodisel dari minyak kelapa sawit sebagai pengganti minyak bumi dari 4.873 juta ton pada tahun 2005 menjadi 14.010 juta ton pada tahun 2010 (Samhadi, 2006; Triyanto, 2007).
Walaupun sudah banyak hasil penelitian dan pengembangan kelapa sawit di Indonesia yang cukup mutakhir (state-of-the art) dan dirujuk dunia, diantaranya penggunaan bioteknologi pada per-baikan genetika bibit kelapa sawit, perbaikan kultur teknis dengan irigasi tetes, penggunaan pupuk organik dari limbah kelapa sawit, pengendalian hama terpadu dan mengutamakan sistem pengendali-an hayati, perbaikan pasca panen, peningkatan rendemen hasil CPO, investasi pada beberapa ragam oleokimia dan biodisesel serta surfaktan, namun, kelapa sawit sebagai komoditas dalam bentuk curah masih termasuk kategori produk kurang terdiferen-siasi. Oleh karena itu, karakteristik pasar produk yang kurang terdiferensiasi biasanya memiliki pembeli yang sedikit dan terkonsentrasi akan tetapi penjualnya banyak. Jalur pemasarannya biasanya merupakan kepanjangan tangan dari spot-market, sedangkan informasi antar mitra perdagangan dalam sistem pemasarannya biasanya juga tidak mengalir lancar. Walaupun demikian terdapat keuntungan dari karakteristik pasar produk yang kurang terdiferen-siasi yakni pembelian komoditas dapat dilakukan dengan cepat, berbiaya rendah dan menggunakan rantai perdagangan yang relatif sudah mapan, serta memiliki standar universal. Pasar komoditas curah tersebut dicirikan dengan instabilitas, kelebihan pasok, kompetisi global yang tajam, kecenderungan penurunan harga dan penurunan term of trade negara-negara produsen (Hermawan et al., 2006).
Persaingan yang utama pada perdagangan internasional kelapa sawit terjadi antara Indonesia dan Malaysia, dengan posisi unggul masih berada di pihak Malaysia. Keunggulan Malaysia di atas Indonesia terjadi karena didorong oleh faktor koordinasi dan konsolidasi kebijakan pemerintah yang lebih baik, penguasaan teknologi dan pengetahuan yang lebih maju, investasi swasta yang lebih besar serta kekuatan pemasaran yang lebih baik. Selain itu keunggulan Malaysia di atas Indonesia dalam hal perolehan devisa juga terjadi karena Malaysia telah sanggup mengembangkan industri hilir produk kelapa sawit yang memiliki daya saing internasional yang tinggi (Gumbira-Sa’id, 2006). Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dalam agribisnis kelapa sawit seperti didaftar di bawah ini.
1.      Konflik sosial seperti ketidakharmonisan hubungan antara pekebun, masyarakat sekitar, dan instasi terkait. Masalah-masalah sosial tersebut dapat berlanjut menjadi masalah lainnya seperti okupasi lahan, masalah ketersediaan lahan dan perizinan, dan tindakan kriminal seperti penjarahan produk.
2.      Lemahnya strategi pengembangan industri dan kemampuan membangun industri hilir yang masih rendah. Regulasi pemerintah, komitmen lembaga pembiayaan, pelaku bisnis dan sinkronisasi pengembangan industri hulu dan hilir belum berjalan dengan baik.
3.      Isu-isu lingkungan.
Perambahan hutan konservasi untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit telah banyak terjadi. Salah satu kasusnya adalah pembukaan lahan pada hutan konservasi seluas 49.948 Ha di Sumatera Selatan. Pengembangan lahan tersebut mengakibatkan kerusakan hutan, erosi, dan rusaknya biodiversity (Khoiri, 2006). Tekanan LSM, lembaga konsumen dan lembaga pencinta lingkungan internasional yang gencar menyuara-kan pembangunan perkebunan kelapa sawit lestari mempengaruhi perbankan dan lembaga keuangan multilateral untuk membatasi atau menghentikan sama sekali investasi dan pem-biayaan di sektor sawit Indonesia karena argumen lingkungan dan sosial. Oleh karena itu kewajiban perusahaan kelapa sawit untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) semakin penting bagi keberlanjutan bisnis.
v  Kakao Sebagai Komoditas Unggulan Strategis Nasional
Dalam sejarah budidaya dan persebarannya di dunia, tanaman kakao tumbuh terutama di wilayah-wilayah Afrika Barat, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Asia. Pada awal tahun 1970-an produksi dan perdagangan internasional kakao dikuasai oleh Ghana, Nigeria, Pantai Gading dan Brazil. Namun demikian, setelah itu terjadi perkembangan produksi di wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia yang tumbuh cukup cepat, sehingga pada saat ini negara-negara produsen utama kakao dunia adalah Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Nigeria, Brazil, Kamerun, Ekuador dan Malaysia. Negara-negara di atas menghasilkan 90 persen dari produk kakao dunia (UNIDO, 2005; FAO, 2006). Di Indonesis sendiri, secara keseluruh-an luas perkebunan kakao saat ini adalah sekitar 992.000 ha. Sebanyak 70% perkebunan kakao di Indonesia berada di pulau Sulawesi, dan hampir seluruhnya adalah milik rakyat (Departemen Pertanian, 2008).
Produksi kakao terbesar berada di pulau Sulawesi, dan didominasi oleh perkebunan rakyat dengan jumlah produksi lebih 386 ribu ton dan luas areal sekitar 538 ribu Ha, dengan produktivitas rata-rata sebesar 710 Kg/Ha. Di lain pihak ekspor kakao Indonesia meningkat secara tajam di tahun 2002 walaupun kemudian berfluktuasi diantara tahun 2003 dan 2005. Nilai ekspor biji kakao tertinggi Indonesia dicapai pada tahun 2002, yakni USD 520.67 juta. Peningkatan produksi dan mutu kakao sedang digalakkan oleh Asosiasi Kakao Indonesia (Razak, 2006) dengan membina dan mengembang-kan desa kakao (cacoo village). Dengan pembinaan khusus berbasis penelitian dan pengembangan tersebut, produktifitas kakao meningkat dari 0,7 ton/ha menjadi 1,8 ton/Ha. Dengan keberhasilan tersebut Askindo mengharapkan bahwa ekspor kakao Indonesia akan meningkat dari 450.000 ton tahun 2005, meningkat menjadi 490.000 ton tahun 2006, dan meningkat lagi menjadi 530.000 ton di tahun 2007. Beberapa hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dapat dibanggakan sebagai kegiatan mutakhir (state-of-the-art) dari agroindustri kakao adalah penyediaan bibit yang lebih baik, pengendalian hayati, proses pengeringan biji kakao yang lebih baik mutunya, dan penganeka ragaman produik kakao yang dapat dikerjakan oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Protipe hasil-hasil di atas dapat dilihat di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur (PPKK, 2008).
Namun demikian, walaupun Indonesia merupakan salah satu dari tiga besar negara pengekspor kakao dunia, Razak (2006) melaporkan bahwa hampir 80% dari volume bij kako untuk ekspor merupakan biji kakao bermutu rendah, karena kebanyakan biji kakaonya tidak difermentasi.
v  Gambir Sebagai Komoditas Strategis Nasional
Gambir merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia, karena memasok kebutuhan dunia hingga mencapai 80%, sementara 90% produk gambir Indonesia diproduksi oleh para petani di Sumatera Barat. Negara-negara tujuan ekspor gambir adalah Australia, Bangladesh, Hongkong, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Taiwan, Jepang, Saudi Arabia, Filipina, Thailand dan Singapura. Pada tahun 2006 volume ekspor gambir Indonesia tertinggi adalah ke India, yaitu 6.712.037 kg dan terendah ke Thailand yaitu 1.160 kg (Departemen Pertanian, 2006).
Pangsa pasar ekspor gambir sangat luas dengan volume ekspor yang tinggi. India membutuhkan gambir sebanyak 6000 ton pertahun, dengan 68% gambir tersebut diimpor dari Indonesia. Selain itu, Singapura juga merupakan pengimpor gambir terbesar dari Indonesia. Volume impor tertinggi Singapura pernah mencapai 92,1% dari produksi gambir Indonesia. Dengan demikian prospek ekspor gambir ke luar negeri terbuka luas. Produk gambir yang diinginkan oleh pembeli luar negeri, seperti India dan negara-negara pengimpor lainnya, adalah gambir yang benar-benar baik dan tidak tercampur dengan bahan lainnya yang dapat merusak kesehatan. Kemurnian dan kadar catechin merupakan persyaratan yang harus dipenuhi bila akan melakukan ekspor, karena bila gambir tercampur benda asing akan menurunkan kandungan catechin, dan aroma yang merupakan persyaratan yang mutlak harus dipenuhi (Denian, 2004).






































BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam sistem perekonomian yang makin mengglobal seperti yang terjadi saat ini, pasar komoditas pertanian menjadi terintegrasi dengan pasar dunia, yang diiringi dengan terjadinya perubahan mendasar pada preferensi konsumen terhadap produk-produk hasil pertanian. Preferensi konsumen berubah dari yang sebelumnya hanya sekadar membeli ’komoditi’ ke arah membeli ’produk’. Dengan demikian, di pasar domestik, persaingan produk primer semakin tak terhindarkan, karena biaya transportasi antar negara menjadi semakin murah, serta terbukanya investasi asing.
3.2 Saran
Dalam perumusan program pembangunan industri pertanian di Indonesia, tentu tidak semata-mata mengandalkan logika dan teori semata, namun harus pula melihat fakta di lapangan, dan juga berpijak pada pengalaman di masa lalu. Hal ini perlu diperhatikan karena dalam penerapan berbagai teori yang telah diterapkan di masa lalu, ternyata kini menemui jalan buntu. Misalnya strategi meraih swasembada pangan dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang ada, ternyata dalam jangka panjang justru menimbulkan ketegantungan yang tinggi pada komoditi beras, dan menghambat diversifikasi pangan.































DAFTAR PUSTAKA